MEREKAM LIMINAL SPACE YANG TERASA CUKUP DI DESA SEDANG

Desa Sedang tak banyak disebut dalam peta budaya populer Bali. Namun letaknya yang berada di antara dua titik penting, antara Denpasar sebagai ibukota provinsi dan Gianyar yang memiliki area wisata seperti Ubud. Desa ini adalah “ruang antara”–Liminal Space– yang menjadi titik tengah di antara wilayah yang pembangunannya pesat. Di dalamnya menyimpan ketegangan halus antara geliat kehidupan yang tak sepenuhnya tradisional tapi juga belum sepenuhnya termodernisasi. Kali ini kedua orang warga lokal; Ali Nugraha, seorang musisi independen, mantan vokalis band punk rock Speak Up dan Kadek Dante, yang banyak terlibat di banyak produksi belakang panggung musik di Bali, mengajak berkeliling mengelilingi tetangga mereka melalui program Mendadak Nomad #6: Sedang Berjalan Bersama Ali Nugraha. Bersama Capybara Unit Visual dan teman-teman lainnya, mereka menavigasi desa ini, sembari secara tersirat mendengar desa ini berbicara atas dirinya sendiri. Berbeda dengan kegiatan Mendadak Nomad sebelumnya, yang seringkali merekam fenomena dalam konteks urban yang sangat cepat dan dinamis, kali ini konteksnya rural yang temponya lebih lambat namun banyak sekali temuan-temuan baru mengenai interaksi  kehidupan masyarakat dengan sumberdaya kolektif –Common Goods-yang mereka miliki.

Sore ini terasa agak mendung. Langit kelabu menggantung, mendukung suasana yang melambat dan tenang di sekitar Desa Sedang. Kami memulai perjalanan melewati jalan warga yang sederhana—deretan rumah, warung kecil, dan pohon beringin tua yang menjadi penanda desa. Di ujung jalan terdapat hamparan sawah membentang yang masih hijau, namun kemudian kamu menyadari bahwa tidak sepenuhnya lahan sawah ditanami oleh padi. Di antaranya, terdapat kebun bunga yang kami tidak tau jenisnya, namun digunakan untuk keperluan ritual masyarakat sehari-hari. Ternyata, fungsi lahan di sini tidak hanya untuk keperluan ekonomi namun juga mendukung secara spiritual dan sosial. Sambil menelusuri hamparan sawah, kami menemukan munduk mereman, yang disebut oleh Ali Nugraha, sebagai tempat mandi warga sekitar. Dalam sistem subak, munduk adalah saluran air kecil atau anak saluran irigasi yang bercabang dari saluran utama. Munduk berfungsi untuk mengalirkan air ke petak-petak sawah yang lebih kecil, dan sering kali melewati atau berbatasan langsung dengan pekarangan warga atau jalur-jalur desa. Meskipun fungsi utamanya adalah saluran irigasi—sering kali juga dimanfaatkan sebagai tempat pemandian alami oleh warga sekitar. Di sekitarnya juga terlihat beberapa anak-anak yang sedang memancing, menjadikannya ruang sosial dan bersantai.

Selama perjalanan kami juga menemukan pohon kepuh, pohon yang sudah mulai jarang ditemukan di perkotaan. Menurut Dante, Pohon ini juga salah satu penanda ruang temu secara sosial dan spiritual, sehingga dianggap sakral di suatu desa. Di sini juga kami berpapasan dengan rombongan lansia yang sedang jalan sore, sebuah kegiatan yang menunjukan aktivasi ruang dinamis, walaupun secara tampak, area ini hanyalah berupa hamparan sawah yang dihubungkan oleh jalan usaha tani yang di-branding menjadi jogging track. 

Di ujung jalan, kami kembali memasuki pemukiman yang dikelilingi oleh rumah rumah warga yang khas tradisional bali, dengan batu ukir dan angkul-angkul. Kami juga menemukan sekolah dasar yang sedang direnovasi, dengan fasad arsitektur yang sepertinya biasa saja, namun sangat kaya akan sentuhan seni tradisional. Apalagi terdapat patung ganesha yang posisinya seraya tepat di tengah candi bentar, gerbang masuk sekolah. Sentuhan ini menandakan bahwa desa ini cukup tersentuh oleh modernitas namun masih dalam kondisi laten, tapi terus berkembang secara perlahan.

Desa sedang berada di dua arus utama pembangunan. Namun sebagai sebagai ruang antara, desa ini masih belum terpikat dengan atraksi wisata yang dibuat-buat. Belum banyak homestay, cafe dengan papan neon, atau tempat yoga yang seringkali menjadi pelampiasan orang mencari spiritualitas baru yang membentuk kultus aneh. Jalan utamanya belum menyiratkan efek gentrifikasi banal dengan tampilan arsitektur yang tidak kontekstual seperti yang mulai terlihat di sekitar ubud. Sebagai desa liminal, Sedang tidak sepenuhnya tinggal dalam masa lalu namun tidak ingin terburu-buru mengejar nafsu masa depan. Ruang ini laten, belum selesai terbentuk namun masih terus bergerak yang membentuk wajahnya sendiri. Tidak dipungkiri, desa ini juga ingin berpartisipasi dalam industri wisata, namun alih-alih seperti daerah wisata lainnya yang ter-gentrifikasi, kehidupan di sini sudah menjadi cukup dan menarik bagi orang-orang yang mau melihat secara dekat. Selain itu juga rasanya desa ini perlu lebih dikenal, sehingga masyarakat sekitar bisa berkontribusi secara lebih positif.

Menurut Ali, aktivitas ini bertujuan untuk menyaksikan keaslian desa ini dalam skala yang cukup, seperti makna dari nama desa ini sendiri. Bukan yang dipoles dan dipaksakan, namun dijalani sehari-hari.“Kegiatan ini tujuannya menonjolkan keaslian yang sudah ada, bukan membuat pertunjukan untuk wisatawan. Tapi kalau itu akhirnya jadi bonus, ya nggak apa-apa juga.” ungkapnya.

Dante bercerita tentang rencana seperti ini sebetulnya sudah beberapa kali menjadi bahan obrolan bersama tetangga-tetangganya yang lain. “Sudah cukup sering kami merencanakan untuk membuat kegiatan baru di sekitar desa kami, namun seringkali jadi wacana saja. Namun, belakangan kami sadar bahwa kita sendiri yang perlu menjadi enabler dengan membuat kegiatan yang sangat sederhana, tapi mampu mempertemukan banyak orang sehingga merajut jaringan baru”. Mangku Alit, seorang tokoh keagamaan di Desa ini  menambahkan, bahwa aktivitas seperti ini bisa membuka ruang-ruang kecil agar warga desa ikut bergerak dan terlibat. “Saya berharap kegiatan seperti ini bisa terus memantik komunitas desa untuk lebih aktif, walaupun lewat hal-hal sederhana. Kita nggak harus nunggu event besar untuk mulai bergerak.”

Alih-alih memoles keaslian demi eksotisme, Desa Sedang justru memperkenalkan cara lain melihat ruang: bahwa ruang bisa tetap fungsional tanpa dikomersialkan secara berlebihan; bisa hidup tanpa harus tampil. Jalan setapak yang digunakan untuk jalan sehat, munduk yang jadi tempat mandi dan memancing, pohon kepuh yang tak ditebang—semuanya menunjukkan bahwa kehidupan sehari-hari bisa menjadi pengalaman paling utuh yang ditawarkan sebuah tempat. Dalam momen yang tenang dan tanpa panggung, Desa Sedang memperlihatkan bahwa ruang seperti ini tetap bisa menyampaikan sesuatu—bukan lewat atraksi, tapi lewat kejujuran yang hidup.

Mendadak Nomad adalah sebuah program riset non akademis oleh Capybara Unit Visual, sebuah unit kerja desain arsitektur serta riset seni dan urbanisme, yang mengajak publik untuk menavigasi ruang-ruang hidup yang dinamis dengan berjalan kaki, yang bertujuan merasakan secara lebih lambat detail-detail urban maupun rural yang ditemukan dalam keseharian. Kegiatan kali ini, berkolaborasi dengan Ali Nugraha dan Kadek Dante, yang merupakan pegiat industri musik dan warga lokal yang tinggal di Desa Sedang untuk memperkenalkan kembali potensi desa mereka sebagai destinasi wisata berbasis kesederhanaan, adat, dan budaya yang masih kuat. Kegiatan ini juga didukung oleh Mangku Alit, seorang pemuka agama yang terus mendorong komunitas warga untuk berkegiatan bersama. Kegiatan ini adalah sebuah langkah awal untuk memantik komunitas di Desa Sedang sehingga dapat terus aktif membuka dan merajut jaringan baru, untuk kembali berkegiatan bersama mengenalkan kembali desa ini sebagai potensi wisata, namun tetap menghargai kesederhanaannya tanpa harus banyak dipoles.


MORE INFORMATION :

@alsnugraha

@dante_lolet

@mangku_alit

@capybara.uv

@barda_______

Post navigation

HYPKLIN // RESMI MELUNCURKAN INOVASI PERAWATAN ALAS KAKI RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS KOMUNITAS

THE JOPLINS // TOUR DAN ALBUM “TEENAGE LUST”

OKAMI LOFT RESMI DIBUKA DI BLOK M: BAR HIGHBALL & WHISKY BERNUANSA JEPANG YANG SANTAI DAN BERKARAKTER

GARMIN // NATURE DEFICIT DISORDER & AKTIVITAS OUTDOOR